Rabu, 31 Oktober 2012

Fiqih Pacaran

Ibnu Qayyim Al-Juziyah (atau Al-Jauziyyah) sungguh menakjubkan. Inilah yang kami rasakan ketika membaca buku terjemahan kitab beliau, Raudhatul Muhibbiin, yang berjudul Taman Orang-orang Jatuh Cinta, terj. Bahrun AI Zubaidi, Lc (Bandung: Irsyad Baitus Salam, 2006).
Bagaimana tidak menakjubkan? Di buku setebal 930 halaman tersebut, orang yang jatuh cinta ditawari “rahmat dan syafaat” (hlm. 715 dst.). Selain itu, beliau mengarahkan pembaca untuk “menyeimbangkan dorongan hawa nafsu dan potensi akal” (hlm. 29 dst.). Hal-hal semacam ini jarang kami temui di buku-buku percintaan yang pernah kami baca.
Memang, sebagaimana ulama-ulama besar lainnya, beliau pun menekankan “cinta kepada Allah” dan “cinta karena Allah” (hlm. 550). Namun, beliau ternyata juga membicarakan fenomena “pacaran islami”, suatu topik sensitif yang sering dihindari banyak ulama. Beliau mengungkapkannya (bersama-sama dengan persoalan lain yang relevan) di sub-bab “Berbagai hadits, atsar, dan riwayat yang menceritakan keutamaan memelihara kesucian diri” dan “Cinta yang suci tetap menjadi kebanggaan” (hlm. 607-665).

Di situ, kami jumpai istilah “pacaran” muncul tujuh kali, yaitu di halaman 617, 621 (lima kali), dan 658. Adapun istilah-istilah lain yang menunjukkan keberadaan aktivitas tersebut adalah “bercinta” (hlm. 650), “gayung bersambut” (hlm. 613), “saling mengutarakan rasa cinta” (hlm. 620-621), “mengapeli” (hlm. 642-643), “berdekatan” (hlm. 617), dan sebagainya.
Sekurang-kurangnya, kami jumpai ada sembilan contoh praktek pacaran islami yang diceritakan oleh Ibnu Qayyim di situ. Dari contoh-contoh itu, dan dari keterangan beliau di buku tersebut, kami berusaha mengenali ciri khas “pacaran islami” ala Raudhatul Muhibbiin. Ini dia tujuh diantaranya:

    mengutamakan akhirat
    mencintai karena Allah
    membutuhkan pengawasan Allah dan orang lain
    menyimak kata-kata yang makruf
    tidak menyentuh sang pacar
    menjaga pandangan
    seperti berpuasa

1) MENGUTAMAKAN AKHIRAT
Pada dua contoh, pelaku “pacaran islami” ditawari kenikmatan duniawi (zina), tetapi menolaknya dengan alasan ayat QS Az-Zukhruf [43]: 67, “Teman-teman akrab pada hari [kiamat] itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang bertaqwa.” (hlm. 616 dan 655) Maksudnya, mereka yang islam itu lebih memilih kenikmatan ukhrawi daripada kenikmatan duniawi (ketika dua macam kenikmatan ini bertentangan).
Adapun pada bab terakhir, Ibnu Qayyim (dengan berlandaskan QS Al-Insaan [76]: 12) menyatakan, “Barang siapa yang mempersempit dirinya [di dunia] dengan menentang kemauan hawa nafsu, niscaya Allah akan meluaskan kuburnya dan memberinya keleluasaan di hari kemudian.” (hlm. 918)

2) MENCINTAI KARENA ALLAH
Pada suatu contoh, diungkapkan syair: “Sesunggguhnya aku merasa malu kepada kekasihku bila melakukan hal yang mencurigakan; dan jika diajak untuk hal yang baik, aku pun berbuat yang baik.” (hlm. 656)
Syair tersebut menggambarkan bahwa percintaannya “menghantarkannya untuk dapat meraih ridha-Nya” (hlm. 550). Menghindari hal yang mencurigakan dan menerima ajakan berbuat baik itu diridhai Dia, bukan?
Lantas, apa hubungannya dengan “cinta karena Allah”? Perhatikan:

    Yang dimaksud dengan cinta karena Allah ialah hal-hal yang termasuk ke dalam pengertian kesempurnaan cinta kepada-Nya dan berbagai tuntutannya, bukan keharusannya. Karena sesungguhnya cinta kepada Sang Kekasih menuntut yang bersangkutan untuk mencintai pula apa yang disukai oleh Kekasihnya dan juga mencintai segala sesuatu yang dapat membantunya untuk dapat mencintai-Nya serta menghantarkannya untuk dapat meraih ridha-Nya dan berdekatan dengan-Nya. (hlm. 550)

3) MEMBUTUHKAN PENGAWASAN ALLAH DAN ORANG LAIN
Pada suatu contoh, pelaku “pacaran islami” bersyair: “Aku punya Pengawas yang tidak boleh kukhianati; dan engkau pun punya Pengawas pula” (hlm. 628).
Pada satu contoh lainnya, Muhammad bin Sirin mengabarkan bahwa “dahulu mereka, saat melakukan pacaran, tidak pernah melakukan hal-hal yang mencurigakan. Seorang lelaki yang mencintai wanita suatu kaum, datang dengan terus-terang kepada mereka dan hanya berbicara dengan mereka tanpa ada suatu kemungkaran pun yang dilakukannya di kalangan mereka” (hlm. 621).

4) MENYIMAK KATA-KATA YANG MAKRUF
Pada suatu contoh, ‘Utsman Al-Hizami mengabarkan, “Keduanya saling bertanya dan wanita itu meminta kepada Nushaib untuk menceritakan pengalamannya dalam bentuk bait-bait syair, maka Nushaib mengabulkan permintaannya, lalu mendendangkan bait-bait syair untuknya.” (hlm. 620)
Pada enam contoh, para pelaku pacaran islami “saling mengutarakan rasa cintanya masing-masing melalui bait-bait syair yang indah dan menarik” (hlm. 620-621).
Pada suatu contoh, pelaku pacaran islami mengabarkan, “Demi Tuhan yang telah mencabut nyawanya, dia sama sekali tidak pernah mengucapkan kata-kata yang mesum hingga kematian memisahkan antara aku dan dia.” (hlm. 628)

5) TIDAK MENYENTUH SANG PACAR
Pada suatu contoh, pelaku pacaran islami menganggap jabat tangan “sebagai perbuatan yang tabu” (hlm. 628).
Pada dua contoh, pelaku pacaran islami tidak pernah menyentuhkan tangannya ke tubuh pacarnya. (hlm. 634)
Pada satu contoh lainnya, pelaku pacaran islami “berdekatan tetapi tanpa bersentuhan” (hlm. 621).
Sementara itu, Ibnu Qayyim mengecam gaya pacaran jahili di zaman beliau. Mengutip kata-kata Hisyam bin Hassan, “yang terjadi pada masa sekarang, mereka masih belum puas dalam berpacaran, kecuali dengan melakukan hubungan sebadan alias bersetubuh” (hlm. 621).

6) MENJAGA PANDANGAN
Di antara contoh-contoh itu, terdapat satu kasus (hlm. 617) yang menunjukkan bahwa si pelaku pacaran islami “dapat melihat” kekasihnya. Akan tetapi, Ibnu Qayyim telah mengatakan “bahwa pandangan yang dianjurkan oleh Allah SWT sebagai pandangan yang diberi pahala kepada pelakunya adalah pandangan yang sesuai dengan perintah-Nya, yaitu pandangan yang bertujuan untuk mengenal Tuhannya dan mencintai-Nya, bukan pandangan ala setan” (hlm. 241).

7) SEPERTI BERPUASA
Ibnu Qayyim menyimpulkan:
    Demikianlah kisah-kisah yang menggambarkan kesucian mereka dalam bercinta. Motivasi yang mendorong mereka untuk memelihara kesuciannya paling utama ialah mengagungkan Yang Mahaperkasa, kemudian berhasrat untuk dapat menikahi bidadari nan cantik di negeri yang kekal (surga). Karena sesungguhnya barang siapa yang melampiaskan kesenangannya di negeri ini untuk hal-hal yang diharamkan, maka Allah tidak akan memberinya kenikmatan bidadari nan cantik di negeri sana…. (hlm. 650)
    Oleh karena itu, hendaklah seorang hamba bersikap waspada dalam memilih salah satu di antara dua kenikmatan [seksual] itu bagi dirinya dan tiada jalan lain baginya kecuali harus merasa puas dengan salah satunya, karena sesungguhnya Allah tidak akan menjadikan bagi orang yang menghabiskan semua kesenangan dan kenikmatan dirinya dalam kehidupan dunia ini, seperti orang yang berpuasa dan menahan diri darinya buat nanti pada hari berbukanya saat meninggalkan dunia ini manakala dia bersua dengan Allah SWT. (hlm. 650-651)

Sumber

0 komentar:

Posting Komentar